(5) Tondu’ Majang
Ngapote wa’ lajarra etangale
Semajang tantona la padha mole
Mon tangghu dari ambet dha jhalanna
Mase bannya’a ongghu ollena.
O… mon ajhelling odi’na oreng majangan
Abhantal omba’ sapo’ angen salanjhangah
Reng majang bannya’ ongghu bhabhajana
Kabhilang alako bhandha nyabana.
Lagu “Tondu’ Majang” (datang dari melaut) di atas menceritakan kehidupan nelayan Madura. Kehidupan mereka digambarkan sangat keras karena harus bertemu banyak mara bahaya di laut (atemmo bhabhaja). Mereka juga harus mempertaruhkan nyawa (bhandha nyaba) untuk menghidupi keluarga yang ditinggalkan di rumah. Kadang untuk mendapat tangkapan ikan yang banyak mereka harus tinggal berhari-hari di perahu sehingga mereka menjadi terbiasa dengan laut dan mengandaikan ombak sebagai bantal dan angin sebagai selimut mereka (Abhantal omba’ sapo’ angen).
(6) Es Lilin Cabbhi
Akaleleng kotta………. kabara’ soka temor, ……
Nyajhaaghi es lilin lemma’ manes nyaman ta’ baddhay,
Nyare pangore reng tuwa ban sana’ e dhisa paghunongan
Es lilin cabbhi ayo bhi Bhittas ngonyer a yo nyer
Nyerra otang a yo tang, Tanggal ennem a yo nem,
Nemmo padi ayo di, Di kapandi. …………
Bariya re panglepor ate sangsara…..
Lagu “Es Lilin Cabbhi” bercerita tentang penjual es keliling kota yang bekerja untuk menghidupi orang tua dan keluarganya yang tinggal jauh di desa terpencil (e dhisa paghunongan). Keuletan dan kegigihan penjual es yang digambarkan dalam lagu ini merupakan ciri khas orang Madura yang tidak mengenal lelah dan patah semangat dalam bekerja. Mereka tidak malu menjalani pekerjaan apapun asalkan dapat menyambung hidup, halal, serta tidak bertentangan dengan hukum dan norma masyarakat.
(7) Kembhangnga Naghara
Onenga panjhenengan sadhaja para potre e Madhura,
Jha’ dhimen ghi’ bakto jhaman rajha,
Bada kembhangnga naghara
Pangeran Cakraningrat ‘peng empa’,
kasebbhut Sidingkap jhugha..
K’sastreya paneka ampon nyata socce abhilla naghara
K’sastreya se gaga’ bangal bhuru,
E jhi pojhi ta’ bu ambu.
Bhadi kaca kebbhang para ngoda
Pamondhi Madhura….
“Kembhangnga Naghara” (kembang negara) merupakan lagu daerah Madura yang khusus menceritakan kepahlawanan Pangeran Cakraningrat keempat. Dia adalah seorang ksatria dari Madura yang pantang menyerah dan rela berkorban untuk membela bangsa dan negara.
Kepahlawanannya merupakan simbol sifat orang Madura. Mereka gigih, rela berkorban dan pantang menyerah untuk membela kebenaran dan keadilan yang dapat dijadikan teladan oleh para pemuda penerus bangsa (Bhadi kaca kebbhang para ngoda pamondhi Madhura).
Lagu ini, berusaha menggugah masyarakat Madura untuk meneladani semangat juang Pangeran Cakraningrat keempat. Meskipun beliau sudah wafat ratusan tahun yang lalu, orang Madura harus berusaha mengenang jasa-jasa dan menteladani jiwa kepahlawanannya. Semangat, keberanian, keikhlasan berjuang, dan kesukarelaan Pangeran Cakraningrat keempat, patut dijadikan contoh untuk membangun suku dan bumi Madura kedepan.
(8) Pahlawan Trunojoyo
Kabit dhimen ampon kaalok pahlawan Madhura.
Ta rongghu abhilla kadhilan Nusantara.
Trunojoyo gaga’ tor bengal menangka pahlawan
Salerana bhabhar, e pabhabharan kotta Sampang
Tojjhuepon malejjhar panjhajhah dari Indonesia,
Terros maju tor nantang alorok mosona
Trunjoyo sedha amargha etepo bhangsana
Namung lampaepon e bhut sebbhut salanjhanga.
“Pahlawan Trunojoyo” merupakan contoh lain dari lagu yang mengekspresikan penghormatan masyarakat Madura kepada para pahlawan mereka. Lagu di atas bercerita tentang sosok pahlawan nasional Trunojoyo yang berasal dari Sampang. Ia adalah pahlawan yang gagah dan pemberani yang dengan tanpa pamrih dan memiliki semangat tinggi membela bangsa dan Negara (abhilla kadhilan Nusantara) dan untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia (malejjhar panjhajhah dari Indonesia)..
Ironisnya, Trunojoyo wafat bukan karena tipu muslihat penjajah melainkan karena dikhianati bangsanya sendiri. Meskipun kalah dalam perang melawan penjajah, jiwa kepahlawana Trnojoyo akan selalu diingat dan dikenang sepanjang masa.
(9) E Tera’ Bulan
Ampon dapa’ baktona tera’ bulan,
Sadnajhana tore akompol pas maelang sossa ate katon rota’ apangghi…
E tera’ bulan tarkataran sonarra, langgnge’ bherse, bintang pote dhap-ngarreddhap ce’ pernana.
Tan-taretan jha pas kangse’ apesa eman ongghu pagghun akompol pada tresna Madhura.
Lagu “E Tera’ Bulan” (diterang cahaya bulan) merupakan lagu yang sering dinyanyikan ketika bulan purnama muncul. Lagu ini dulunya dinyanyikan oleh orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan ketika listrik belum masuk desa. Ketika bulan purnama, orang-orang biasanya keluar rumah untuk berkumpul dan bercengkrama. Tidak jarang kegiatan berkumpul tersebut digunakan untuk mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi dalam hidup. Selain itu, kegiatan berkumpul ketika bulan purnama tiba ini digunakan untuk menghilangkan segala kepenatan hidup walaupun hanya sesaat. Mereka menggunakan momen terang bulan ini untuk saling bertemu karena kadang akibat sibuknya pekerjaan mereka, mereka jarang memiliki waktu luang untuk bercanda dan bercengkrama. (Ampon dapa’ baktona tera’ bulan, Sadajhana tore akompol pas maelang sossa ate katon rota’ apangghi).
(10) Pacakang Alako
Klaban dhasar Pancasila tor Dhang-Undhang Dhasar Empa’ Lema’
Esse’e kamardhika’an Indonesia abhangon e sabbhan bidang.
Settong naghara se rajha, pon kalonta da’ manca naghara,
Ngasellaghi kabhutowan searopa: sandhang pangan ban laenna.
Dari jhau katengal mentamenan tombu ghumbhus rampa’ cengngar ngabhiru. Nandhaaghi jha’ bhume Indonesia tanaepon sanget landhu.
Oh, potra potre sadhaja nyara sroju’ pacakang alako,
Nyopre kantos abhukte settong masyarakat, adhil ma’mor pada melo.
Pacakang alako (giatlah bekerja) bermakna menggugah semangat rakyat Indonesia untuk membangun dan mengisi kemerdekaan Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Tanah Nusantara sangat terkenal di Manca negara (kalonta da’ manca naghara). Tanah ini dikenal begitu subur dan mampu menjadikan segala macam tanaman dapat digunakan bagi kepentingan rakyat Indonesia tumbuh. Tumbuh-tumbuhan yang daunnya menghijau lebat merupakan pertanda betapa makmurnya tanah Nusantara. (mentamenan tombu ghumbhus rampa’ cengngar ngabhiru). Kekayaan alam yang tersedia di negeri ini tidak akan ada artinya apabila tidak diiringi dengan semangat untuk bekerja dengan giat (pacakang alako). Oleh karena itu, sudah saatnya bagi putra-putri Indonesia untuk menyingsingkan lengan baju guna mewujudkan negara yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
(11) Pajjhar
Pajjhar ampon ngombar dari mongging temor, bulan pornama abak ngabara pon para competdha. Angen ser-ngalesser cellep tape seggher, Bintang porteka ngadhirap terrang sonarra ngabhiru. Ajam saroju’ pada akongko’ monyena sanget lante, Menangka tandha nyara sadhaja kasokana abungo. Pajjar ampon ngombar dari mongghing temor, Soddhi taretan nyara sahaja pada’a alako.
“Pajjhar” (fajar) adalah lgu yang mengajak orang untuk bangun pagi-pagi dan segera bekerja di sawah atau ladang. Semakin pagi pergi ke sawah atau ladang, semakin baik pula hasil pertanian yang mereka garap. Ajakan bangun pagi adalah ajakan yang baik karena dengan terbiasa bangun pagi, etos kerja dapat dibangun dan ditingkatkan.
(12) Pajjhar Lagghu
Pajjhar lagghu arena pon nyonara.
Bapa’ tane se tedung pon jhagha’a.
Ngala’ are’ ben landhu’ tor capengnga,
A jhalananna ghi’ sarat kawajibhan.
Atatamen mabannya’ hasel bhumena.
Mama’mor nagharana tor bangsana.
“Pajjhar Lagghu” (fajar pagi) adalah lagu yang menggambarkan kegiatan masyarakat pedesaan Madura di pagi hari. Ketika fajar tiba, para petani pergi ke sawah membawa cangkul dan topi (Ngala’ are’ ben landhu’ tor capengnga) untuk bertani guna menghidupi keluarganya. Mereka bertani tidak hanya untuk memberi makan keluarga mereka tapi juga untuk kemakmuran negara dan bangsanya (Mama’morra nagharana ban bangsana.) Bagi masyarakat Madura bekerja sebagai petani menjadi pekerjaan utama. Meskipun tanah Madura kurang subur, dengan semangat kerja yang giat dan pantang menyerah mereka dapat hidup dari bercocok tanam tersebut.
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Madura untuk bergotong royong dalam bercocok tanam. Kaum lelaki dewasa mencangkul di sawah. Anak-anak yang sudah dewasa dan cukup kuat untuk menggunakan cangkul tidak segan-segan membantu bapak mereka bercocok tanam di sawah dan di ladang. Bagi kaum perempuan, tugas mereka yang utama adalah memasak di dapur dan mengantarkan makanan tersebut ketika siang hari. Semua anggota keluarga memiliki peran dan mereka melaksanakan peran mereka dengan gotong royong. Tanpa gotong royong, pekerjaan mereka akan lama terselesaikan.
(13) Ngennes
Aduh ngennessa e malem talebat seppena,
Ojhan ta’ ambu, Kelappa rang-rangrang nako’e,
Kali marentek Ebhuna. Kerrong ka Eppa’na se ella abit apesa,
Adhina ana’ bine, Parlo abhilla naghara,
Ngoman ebhuna, Bengrembeng ta’ manggha mekkere,
Tedung cong tedung, Eppa’na lagghu’ la abali.
“Ngennes” (merana) mengisahkan seorang ibu dan anaknya yang ditinggal pergi sang kepala keluarga untuk membela negara (Adhina ana’ bine, Parlo abhilla naghara). Syair lagu di atas juga mengekspresikan kesedihan dan perasaan rindu ibu dan anak yang ditinggal pergi oleh sang kepala keluarga (Kerrong ka Eppa’na se ella abit apesa).
Dalam kenyataannya, kegiatan merantau telah menjadi tradisi turun temurum masyarakat Madra. Banyak laki-laki Madura meninggalkan Madura ke luar pulau untuk bekerja dan mendapatkan uang di daerah tersebut. Mereka biasanya tidak kembali ke kampung halamannya dalam waktu yang lama meninggalkan keluarga yang dicintainya.